Dalihan Na Tolu kalau diterjemahkan secara bebas kedalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya Tungku Api (tempat memasak) yang Tiga. Pada jaman dahulu atau mungkin saat sekarang di perkampungan masih banyak ditemui tungku api yang terbuat dari batu atau yang lainnya yang dipergunakan sehari-hari untuk memasak menggunakan kayu bakar. Pada saat ini mungkin sudah lebih banyak yang menggunakan kompor minyak tanah bahkan kompor gas sebagai alat memasak.
Dalam tradisi Adat Batak Filosofi Dalihan Na Tolu ini sangat penting, bahkan selalu diajarkan secara turun temurun. Dalam tradisi Batak Dalihan Na Tolu dimaksudkan hubungan kekeluargaan yang berlaku bagi semua keluarga Batak yang berarti Suhut (Kahanggi), Anak Boru dohot Morana.
Suhut (kahanggi) adalah pemilik / perawis keluarga dari suatu keluarga sedarah/semarga yang memiliki tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup suatu keluarga. Yang juga berarti penanggung jawab kebutuhan sebuah keluarga. Dalam tradisi keluarga batak, saudara sedarah (semarga) biasanya bekerja sama atau bergotong royong menafkahi dan memenuhi semua kebutuhan keluarga.
Anak Boru adalah anak perempuan sedarah (semarga) disebut juga sebagai Iboto yang menikah dengan marga lain atau suku lainnya. Anak boru ini sering juga sebagai "Si Tamba Na Hurang, Sihorus Na Lobi" yang berarti penambah kekurangan dan mencukupkan kelebihan. Dapat juga diartikan anak boru ini yang bertanggung jawab terhadap pengaturan, pendistribusian segala keperluan keluarga, hal ini akan sangat terlihat didalam pesta adat bahwa anak borulah yang bertanggung jawab dalam memasak, menyajikan (mangoloi) dan mencuci piring (membenahi semua peralatan).
Mora adalah keluarga laki-laki dari "Isteri Suhut" yang dalam adat batak sering juga disebut hula-hula merupakan pihak yang senantiasa harus dihormati dan dijunjung tinggi karena telah memberikan isteri sebagai ibu bagi pewaris keturunan (marga) kepada suhut. Penghormatan terhadap mora (hula-hula) sesuai juga dengan kedudukan didalam keluarga mora yaitu sebagai anak boru.
Hubungan Suhut (kahanggi) dan anak boru sangat dekat saling menyayangi, saling menghormati dan saling membantu dan melindungi karena anak boru (Iboto) merupakan saudara sedarah yang menikah dengan keluarga (marga) lain dan membentuk keluarga baru dan sebagai ibu pewaris bagi marga suaminya.
Kedudukan dan tanggung jawab masing-masing sangat baik dan sangat jelas sehingga apabila dikaitkan dengan Dalihan Na Tolu akan terlihat keharmonisan hubungan setiap keluarga. Dasar dari keharmonisan itu adalah persamaan derajad kemanusiaan, saling membantu dan saling menyayangi sesama. Dalihan na tolu itu akan ada apabila didukung tiga unsur kesamaan dan keselarasan sehingga dapat dipergunakan untuk membentuk keluarga yang kokoh.
Dalam adat Batak yang memiliki tanggung jawab dalam adat yaitu orang yang sudah menikah (dipatobang adat) dan yang belum menikah sering kali disebut sebagai Naposo dan Nauli Bulung didalam pesta adat Naposo dan Nauli Bulung ini sifatnya hanya membantu kelancaran sebuah pesta adat.
Dalihan Na Tolu apabila diurai makna dan filosofinya akan sangat luas, uraian ini hanya sebagian kecil namun apabila prinsip dasar Dalihan Na tolu ini dipegang dan dijalankan setiap keluarga Batak akan tercipta keluarga yang kokoh, saling menopang dan menciptakan generasi penerus yang kokoh dan berkarakter baik.....semoga, Amin !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar